KATA PENGANTAR
Segala puji
hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu
tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan
rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini guna
memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia.
Makalah
ini disusun agar pembaca dapat mengetahui upaya agar Bahasa Indonesia menjadi Tuan Rumah diNegara sendiri, yang saya sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi,
referensi, dan berita.
Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan
pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Universitas Gunadarma. Saya
sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan.
Untuk itu, kepada dosen pembimbing saya
meminta masukannya demi perbaikan pembuatan
makalah saya di masa yang akan datang dan
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.
Bekasi, 3 Januari 2013
Penyusun
Ani
Ratnawati
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bahasa sebagai salah satu ‘alat’ pemersatu bangsa, tak laik bila ditinggalkan begitu saja oleh sang ‘pemilik’ hakiki-nya. Bahasa sebagai penyambung antara rasa dan lidah seseorang untuk mendapatkan apa yang di inginkan oleh rasa itu sendiri.
Bahasa Indonesia sendiri mempunyai peranan yang sangat penting dalam menyatukan hak kewarganegaraan di samping hak kesukuan dari berbagai wilayah di Indonesia. Hak bahasa Indonesia di negara-nya tidak boleh digantikan maupun tergantikan oleh kepentingan apapun dan harus dipertanggung jawabkan kepada sang ‘Pencipta’ bahasa. Namun, lambat laun, bahasa Indonesia kita mulai tergerus oleh kepentingan individu maupun kelompok-kelompok tertentu yang sengaja menimbulkan ‘eksis’-nya untuk bisamenggantikan bahasa Indonesia itu sendiri dengan cara yang amat sangat halus. ‘Pemilik’ bahasa-nya pun ada sebagian yang merasa tapi bingung mengatasinya, adapula yang tak ingin merasa dengan sengaja mengikuti trend agar supaya tidak dibilang ketinggalan zaman, atau pula merasa tapi ‘suka-suka gue-lah’.
Begitu banyak faktor yang sudah komplek yang mempengaruhi eksistensi bahasa Indonesia untuk menjadi ‘tuan rumah’ di negara-nya sendiri. Terlihat dari generasi sekarang yang lebih memanjakan diri mereka dengan bahasa-bahasa gaul, lebay, alay, singakatan yang mengikuti aturan trendsetter mind zaman ini, yang kebanyakan dari mereka boleh dibilang tidak tahu asal-muasal-nya.
BAB II
PEMBAHASAN
Seiring dengan perkembangan waktu dan jaman, akhir – akhir ini perhatian dan minat generasi muda untuk berbahasa Indonesia mulai memudar. Para generasi muda justru berlomba – lomba mempelajari bahasa asing dan bahasa – bahasa gaul sehingga bahasa kita sendiri menempati urutan kesekian bagi generasi muda. Pihak swasta seperti hotel dan restoran juga lebih menonjolkan bahasa Inggris dibandingkan bahasa Indonesia, padahal sasaran mereka mayoritas orang Indonesia sendiri. Mendahulukan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia tidak hanya pada hotel dan restoran swasta saja bahkan jika kita menelepon instansi – instansi pemerintah, di kota – kota besar ternyata, yang akan menjawab pertama adalah rekaman kaset berbahasa Inggris. Tidak menutup kemungkinan seluruh konsulat – konsulat yang tersebar di dunia melakukan hal yang sama.
Memang saat ini dunia tengah disibukan dengan istilah baru dalam perkembangan sejarah umat manusia,Jaman Globalisasi. Menurut situs Wikipedia pengertian Globalisasi adalah keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu Negara menjadi semakin sempit. Globalisasi adalah suatu proses di mana antar individu, antar kelompok, dan antar negara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan memengaruhi satu sama lain yang melintasi batas Negara Dalam banyak hal, globalisasi mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan internasional sehingga kedua istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau batas-batas negara.
Dari pengertian tersebut,perkembangan bahasa Indonesia juga seakan “dikebiri “oleh adanya Globalisasi masyarakat dan generasi penerus seakan tidak Percya Diri menggunakan bahasa negaranya sendiri,bahkan ada yang menganggap bahasa yang penting adalah bahasa Inggris adan Bahasa asing lainnya yang penting di jaman globalisasi ini.
Kenyataan ini sungguh ironis mengingat Ppara pendahulu Negara kita berjuang habis habisan untuk memperjuangkan bahasa persatuan demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,entah hal apa yang menyebabkan banyak pemuda bangsa memilih untuk menggunakan bahasa Asing dan bahasa Gaul dalam setiap obrolan yang mereka lakukan sehari-hari.
Rasa minder menggunakan bahasa sendiri mungkin menjadi faktor merosotnya penggunaan bahasa Indonesia dan justru bangga dapat fasih mengucapkan kata – kata asing. Padahal usaha memasyarakatkan bahasa Indonesia telah dilakukan pada tahun 1970-an oleh Gubernur Jakarta Bapak Ali Sadikin yang menetapkan peraturan yang mengharuskan toko – toko menggunakan bahasa Indonesia dan sebenarnya hal itu telah terbukti efektif toko – toko yang semula memakai nama asing dan menggunakan bahasa asing langsung menukarnya dengan bahasa Indonesia. Akan tetapi sekarang banyak toko – toko yang kembali menggunakan bahasa asing karena tidak adanya teguran dari pihak pemerintah.
Fenomena penggunaan bahasa Indonesia juga terkesan hanya terjadi dilingkungan formal pemerintaah belaka,sedangkan di masyarakat penggunaan bahasa indonesia yang baik dan benar sudah jaramg atau mungkin telah tiada di kalangan pemuda terutama. Bahkan yang sangat ironis, banyak anak muda jaman sekarang yang merubah bahasa seenaknya sendiri dengan akronim dan bahasa bahasa yang tidak begitu dimengerti atau bahasa ”Alay” menurut istilah mereka.
BAB III
PENUTUP
Maka solusi yang paling utama yang bisa ditawarkan adalah memberikan akses seluas-luasnya bagi anak usia dini hingga umur yang ditentukan nantinya, untuk mengenal dialek ibunya dalam hal bahasa daerah, maupun bahasa nasional, sebelum ia boleh mempelajari multi bahasa.
Dengan maksud bahwa, walaupun orang tua tidak berdialek bahasa Indonesia atau bahasa daerah, sebagai konsekwensinya adalah ketika putra-putrinya bersekolah di Indonesia, dia harus mengenal dan mampu berbicara bahasa Indonesia. Atau sebaliknya, walaupun orang Indonesia namun menempuh pendidikan di sekolah bertaraf internasional maupun kelas internasional, ia harus tetap mendapatkan pelajaran akan bahasa ibunya yaitu bahasa Indonesia, juga diberikan kesempatan untuk berbicara dengan bahasa Indonesia disamping bahasa yang berlaku di tempat pendidikannya.
Ini merupakan salah satu solusi perlindungan terhadap bahasa negara akan ancaman globalisasi dan pasar bebas yang menuntut setiap individu untuk mempunyai ketrampilan bahasa yang multi lingual.
Dan tentunya, harus juga dibantu oleh peraturan pemerintah yang mengikat ke seluruh pelosok negeri tanpa melihat ras orang tua, agama, budaya, dan lain lain.
Begitu pula dengan media yang mempunyai peranan penting dalam penggerusan bahasa Indonesia, maka sebaliknya, harus mampu mengembalikan dan memberi perlindungan sepenuhnya akan bahasa Indonesia, yang meliputi media penyiaran dari televisi dan radio, juga media cetak dari majalah dan koran. Aturan pun harus ditaati oleh media untuk bisa melangsungkan penyiarannya juga cetakannya.
Dan yang harus selalu di ingat, pemerintah jangan pernah takut untuk menindak tegas pelanggaran-pelanggaran yang terkait dalam hal ini, tak pula khawatir akan ancaman investor yang ingin meninggalkan bila tidak sesuai dengan visi misi mereka. Karena dalam hal keberlangsungan hidup media juga pengawasan, masih banyak tangan-tangan Indonesia yang bisa menanganinya.
Ini semua kita langsungkan untuk menjaga eksistensi ‘diri kita’ yang dalam hal ini adalah bahasa negara, akan adanya efek komplek yang berkelanjutan .
Kalau bukan kita sendiri yang menjaga dan melestarikan bahasa Indonesia, siapa lagi? Who will save our languange?
REFERENSI
http://bahasa.kompasiana.com/2012/12/18/bahasaku-sayang-bahasaku-malang-512134.html
http://bahasa.kompasiana.com/2012/09/22/bahasa-indonesia-dan-kita-495490.html